Secara etimologis, kata seni berasal dari bahasa Sansekerta,
yaitu Sani yang artinya pemujaan, persembahan, dan pelayanan. Dengan
kata lain, seni sangat erat hubungannya dengan upacara keagamaan yang disebut
juga dengan “kesenian”. Secara sederhana
seni adalah bentuk komunikasi antar manusia.
Secara
etimologi, resensi berasal dari bahasa latin, dari kata kerja revidere atau recensere yang memilik arti melihat kembali, menimbang atau
menilai. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan recensie sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah review.
Pada kesempatan kali ini saya akan me-review 3 buah jurnal
yang berkaitan dengan seni dengan
menggunakan beberapa teori sebagai berikut,
Jurnal
Pertama
Judul :
ANALISIS SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PEIRCE KARYA PATUNG RAJUDIN
BERJUDUL MANYESO DIRI
Karya :
Mukhsin Patriansyah, Jurusan Desain Komunikasi Visual Fakultas
Ilmu Pemerintahan dan Budaya Universitas Indo Global Mandiri Palembang
Objek : Seni rupa patung berjudul Menyeso Diri, karya
Rajudin
Pendekatan : Pendekatan yang
digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah Pendekatan Kualitatif.
Teori
: Teori Semiotika Charles Sanders Peirce.
Metode
dan Analisis : Metode yang digunakan untuk mengetahui makna yang ada
di dalam karya patung Rajudin ini adalah metode analisis interpretasi.
Kesimpulan
Karya ini mempunyai hubungan erat dengan latar
belakang kebudayaan Minangkabau. Dapat disimpulkan bahwa tanda-tanda yang
dihasilkan mengarah pada upaya Rajudin untuk menyampaikan pesan sosial kepada
para perempuan Minangkabau hari ini. Rajuddin ingin menyampaikan pesan berupa
pengarahan agar setiap wanita di Minangkabau lebih berhati-hati dalam
bertingkah laku serta menjaga sikap dan perbuatannya agar menjadi panutan bagi
anak dan kemenakan nantinya. Sesuai dengan judul yang diberikan oleh si seniman
yakni “Manyeso Diri”.
Hal yang Bisa Saya Pelajari
Hal yang dapat saya pelajari setelah mengulas jurnal ini adalah pesan moral yang terkandung dalam karya seni rupa Menyeso Diri. Banyak wanita di Minang kabau lupa akan identitasnya sendiri sebagai Bundo Kanduang yang menjadi panutan di dalam keluarga, kebanyakan wanita Minangkabau sekarang ini lebih mengarah ke hal-hal yang negatif dan bertentangan dengan norma-norma dan adat-istiadat yang berlaku di Minangkabau. Pernyataan tersebut dapat merugikan atau menyiksakan dirinya sendiri karena tidak dianggap sebagai wanita yang mempunyai kedudukan tertinggi dan mulia di kalangan kaum laki-laki.
Sumber
http://journal.isi-padangpanjang.ac.id/index.php/Ekspresi/article/viewFile/76/64
Jurnal
Kedua
Judul : WARAK NGENDOG: SIMBOL AKULTURASI BUDAYA PADA KARYA SENI
RUPA
Karya : Triyanto, Nur Rokhmat, Mujiyono. Jurusan Seni Rupa,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
Objek : Objek pada penelitian ini adalah Warak
Ngendong
Pendekatan : Penelitian ini memilih pendekatan
kualitatif. Sasaran penelitian ini adalah aspek-aspek intra estetik dan ekstra
estetik perwujudan bentuk Warak Ngendog sebagai simbol akulturasi budaya
masyarakat Kota Semarang.
Teori
: Teori Estetika
Metode
dan Analisis : Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan,
wawancara mendalam, dan dokumentasi.
Kesimpulan
Pertama, secara intra estetik,
bentuk Warak Ngendog merepresentasikan binatang rekaan sebagai hewan berkaki
empat, berekor, berbadan seperti kambing, berleher panjang seperti unta,
berkepala naga dan seluruh tubuhnya berbulu keriting seperti bulu pitik walik
berwarna-warni.
Kedua, latar belakang kehidupan
budaya masyarakat Semarang yang multi kultur, yakni budaya Jawa, Arab, dan
Cina, secara ekstra estetik (simbolik) terakulturasi pada ekspresi keseluruhan
struktur bentuk yang terdiri atas badan, kaki, dan ekor kambing yang dimaknai
merepresentasikan budaya Jawa, leher unta yang dimaknai merepresentasikan
budaya Arab, dan kepala naga yang dimaknai merepresentasikan budaya Cina.
Ketiga, pesan edukatif yang
terefleksikan dalam simbol Warak Ngendok adalah ajaran-ajaran nilai-nilai moral
keagamaan yang bersifat Islami, yakni mengendalikan nafsu-nafsu negatif manusia
dalam menjalani laku ibadah puasa dalam rangka menuju kembali ke fitrah
kesucian. Selain itu, secara ekstra estetik Warak Ngendog melambangkan
harmoninya kehidupan budaya yang membentuk kesatuan identitas bersama dalam
realitas budaya yang beragam.
Hal
yang Bisa Saya Pelajari
Kita dapat
mengetahui bahwa Warak Ngendog merupakan kreativitas budaya lokal yang
menjadi maskot dalam tradisi ritual Dugderan masyarakat Kota Semarang. Kita juga
dapat mengetahui akulturasi budaya Jawa, Arab, dan Cina yang melahirkan budaya
lokal Semarang yaitu Warak Ngendong.
Sumber
https://media.neliti.com/media/publications/168804-ID-warak-ngendog-simbol-akulturasi-budaya-p.pdf
Jurnal
Ketiga
Judul : Karya Mural Sebagai Medium Mengkritisi
Perkembangan Jaman (Studi Kasus Seni Mural Karya Young Surakarta)
Karya : Ryan Sheehan Nababan Desain Komunikasi
Visual Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Indonesia
Objek : Karya Seni Mural Young Surakarta
Pendekatan :
Penelitian
ini menggunakan pendekatan Deskriptif Kualitatif, yaitu mendeskripsikan dengan
rinci dan mendalam mengenai gambaran kondisi yang sebenarnya terjadi menurut
apa adanya di lapangan.
Teori
: Teori yang digunakan dalam jurnal ini adalah Teori Fungsionalisme
Menurut Lorimer et al, teori fungsionlisme adalah
salh satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial yang menekankan kebiasaan
pada masyrakat tertentu.
Metode
dan Analisis : Metode yang
dipakai adalah Purposive Sampling karena mampu menangkap kelengkapan,
kebenaran, dan kedalaman data. Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam. Kemudian menggunakan Observasi,
yaitu mengamati dan mencatat secara sistematis terhadap fenomena yang muncul
selama proses kerja kreatif Young
Surakarta. Lalu menggunakan Content analysis, yaitu mencatat isi penting (baik
tersurat maupun tersurat) pada dokumen atau arsip berupa foto, gambar, video,
catatan penting, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan Young Surakarta
beserta karya seni muralnya.
Kesimpulan
Mural sebagai salah satu media seni
rupa tidak terpengaruh akan perkembangan teknologi. Hal ini terkait dengan
syarat khusus mural yang membutuhkan dinding berukuran besar sebagai medianya.
Belum ada teknologi yang mampu digunakan untuk membantu seniman dalam
memproduksi mural. Meskipun demikian, mural dengan cara konvensionalnya tetap
eksis dan semakin menjamur keberadaannya dengan tujuan dan fungsi yang
berbedabeda, baik untuk penyampai pesan kritik sosial, patronase politiki,
ideologi, maupun pesan yang memiliki nilai ekonomi.
Hal yang Bisa Saya Pelajari
Kita dapat mempelajari bahwa dalam proses dan kerja
kreatif kesenian atau desain, pada studi ini adalah karya mural dari Young
Surakarta, dapat menjadi medium penyampai pesan nilai moral serta menjadi
medium untuk mengkritisi dan refleksi terhadap perkembangan teknologi. Di era
perkembangan teknologi saat ini, mural masih dapat ditemui eksistensinya. Di
saat manusia dengan segala sesuatu pemenuhan kebutuhannya memerlukan campur
tangan teknologi, termasuk dalam kebutuhan memproduksi karya seni maupun
desain, eksistensi mural tetap ada. Tidak seperti karya seni rupa atau desain
yang lain (seperti misalnya karya seni cetak grafis, seni lukis, atau bahkan
animasi) yang saat ini sudah membutuhkan kehadiran teknologi untuk memudahkan
proses produksinya, mural masih tetap menggunakan cara konvensional, yaitu
menggambar manual dalam proses produksinya. Dalam artian ini, mural tidak
terpengaruh dengan perkembangan teknologi.
Sumber
http://icadecs.um.ac.id/wp-content/uploads/2019/05/Full-Paper_Ryan-Sheehan-Nababan_ICADECS-19.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar